Hukum Air yang terkena Najis

Sumber - Belajar Fiqih




Jika ada air diam (tidak mengalir) dan ukurannya kurang dari 2 qullah, kemudian air tersebut terkena najis, maka ada 2 pendapat mengenai hukum air tersebut. Menurut Abi Hanifah, Syafi'i dan salah satu qoul Ahmad, air tersebut mutanajis dan tidak bisa dipakai bersuci, walaupun air tersebut tidak berubah warna, rasa dan baunya. Sedangkan menurut Maliki dan salah satu qoul Ahmad lainnya, air tersebut suci dan bisa dipakai bersuci kecuali jika terjadi perubahan warna, rasa atau baunya.

Jika ada air yang jumlahnya 2 qullah lalu terkena najis, menurut Imam Syafi'i, Imam Maalik, Imam Hanafi dan Imam Ahmad, air tersebut suci tidak mutanajis selama tidak terjadi perubahan apa-apa pada air tersebut. Menurut Imam Malik, yang menjadi mutanajis, suci atau tidak sucinya air jika terkena najis, bukan berdasarkan sedikit atau banyaknya air, tapi berdasarkan ada atau tidaknya perubahan warna, rasa atau baunya. Jadi menurut beliau, jika ada air, baik sedikit atau banyak lalu terkena najis dan terjadi perubahan salah satu dari bau, rasa dan warna air, maka air tersebut tidak bisa dipakai bersuci, begitu juga sebaliknya. Kemudian Imam Hanafi menambahkan bahwa ketka najis bercampur dengan air, maka air tersebut menjadi mutanajis kecuali jika air tersebut ukurannya banyak, namun jika ada perubahan pada air dan tidak merata perubahannya, seperti berubah di sisi yang satu dan di bagian lainnya tidak berubah, maka air pada bagian yang berubah, tidak bisa dipakai bersuci dan yang pada bagian lainnya yang tidak ada perubahan, bisa dipakai bersuci.

Ukuran air 2 qullah adalah 500 kati Baghdad/Iraq ( 1 kati Iraq = 407,5 gram) atau 108 kati Damsyiq atau jika air tersebut disimpan dalam bak, maka ukuran bak tersebut panjang, lebar dan tingginya adalah sama dengan 1 1/4  siku (panjang dari ujung jari ke siku, 1 siku = 18 inchi).

Adapun air mengalir, maka sama hukumya dengan air diam, menurut qaul Abu Hanifah, Imam Ahmad dan qaul jadid (baru) dari Syafi'iyyah.  Sedangkan menurut Imam Malik, air mengalir tidak mutanajis jika terkena najis kecuali kalau ada perubahan zat air tersebut. Begitu juga hal ini disepakati oleh qaul qadim (lama) dari golongan Syafi'iyyah seperti pendapat Imam Bughawi, Imam Harmain dan Imam Ghazali.  Dan Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muhadzdzab menyatakan bahwa qaul inilah yang paling kuat pendapatnya.

Hukum Menggambar dalam Islam

Bismillahirrahmaanirrahiim ...

Hukum menggambar/membentuk, melukis atau memahat bentuk manusia atau segala sesuatu yang ada nyawa (ruh)-nya baik dalam bentuk patung, lukisan atau kartun, fotografi dan video dalam pandangan syariah fikih Islam.

Dikutip dari Alkhoirot.net

DALIL HARAMNYA MENGGAMBAR MAKHLUK BERNYAWA
Hadits sahih yang melarang seorang muslim menggambar makhluk bernyawa cukup banyak sebagai berikut

a. Hadits Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih):


إن أشد الناس عذابا يوم القيامة المصورون
Artinya: Yang paling parah siksanya di hari kiamat adalah mushawwir (tukang membuat patung/tukang gambar) .

b. Hadits Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih):


(إن الذين يصنعون هذه الصور يعذبون يوم القيامة يقال لهم أحيوا ما خلقتم
Artinya: Orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat. Dikatakan pada mereka: hidupkan apa yang kamu ciptakan.

c. Hadits Bukhari


نهى عن ثمن الدم وثمن الكلب وكسب البغي ولعن آكل الربا وموكله والواشمة والمستوشمة والمصور 
Artinya: .... Allah melaknat pemakan riba ... dan tukang membuat patung/tukang gambar.

d. Hadits Bukhari Muslim (muttafaq alaih):


من صور صورة في الدنيا كلف أن ينفخ فيها الروح وليس بنافخ
Artinya: Barangsiapa menggambar di dunia maka i` akan dipaksa untuk meniupkan nyawa pada patung/gambar itu. Padahal dia bukanlah orang yang dapat memberi nyawa.

e. Hadits Muslim:


وعن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وقد سترت سهوة لي بقرام فيه تماثيل فلما رآه هتكه وتلون وجهه وقال ((يا عائشة أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله)) قالت عائشة فقطعناه فجعلنا منه وسادة أو وسادتين
Artinya: Nabi melarang Aisyah memakai bantal yang ada gambarnya.

f. Hadits Bukhari Muslim (muttafaq alaih):


إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه تماثيل أو تصاوير
Artinya: Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada patung atau gambar.

Inti dari semua hadits-hadits sahih di atas adalah larangan membuat bentuk makhluk bernyawa (manusia dan hewan/binatang) dalam format gambar atau fisik tiga dimensi (mujassimah) seperti patung.

PENDAPAT ULAMA TENTANG MAKNA TASHWIR (MENGGAMBAR/MEMATUNG) (التصوير)

Ulama membagi kata tashwir (membentuk/menggambar) atau (التصوير) ke dalam tiga kategori dengan konsekuensi hukum yang berbeda:

Pertama, menggambar/membentuk makhluk bernyawa dengan tangan dalam format fisikal (jism) seperti dalam bentuk patung.
Kedua, menggambar makhluk bernyawa dengan tangan dalam format non-fisik. Seperti lukisan, kartun, dll.
Ketiga, Menggambar (menangkap bayangan) makhluk bernyawa dengan kamera atau video.



FATWA AHMAD HURAIDI, MUFTI MESIR (1960 – 1970)

Nama lengkapnya adalah Ahmad Muhammad ‘Abd al-‘Aal Huraidi adalah mufti negara Mesir antara tahun 1960 – 1970. Pada tahun 1963 Syekh Huraidi mengeluarkan fatwa soal gambar sebagai berikut:

Dalam soal tashwir (menggambar) terdapat banyak hadits Nabi antara lain riwayat Bukhari dari Abu Zar'ah sebagai berikut: دخلت مع أبى هريرة دارا بالمدينة فرأى فى أعلاها مصورا يصور فقال سمعت رسول الله ت صلى الله عليه وسلم -‏ يقول (‏ ومن أظلم ممن ذهب يخلق كخلقى فليخلقوا حبة وليخلقوا ذرة ) Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyatakan bahwa tashwir (menggambar) itu mencakup sesuatu yang memiliki bayangan dan yang tidak. Oleh karena itu, dalam pendapat saya lukisan pada tembok tidak termasuk. Ada kemungkinan hadits ini khusus pada gambar yang memiliki bayangan ditinjau dari sabda Nabi ( كخلقى) karena bentuk Nabi bukanlah gambar di dinding tetapi bentuk yang sempurna.

- Dari hadits riwayat Bukhari dari Aisyah
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من سفر وقد سترت بقرام لي على سهوة لي فيها تماثيل فلما رآه رسول الله صلى الله عليه وسلم هتكه وقال أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهون بخلق الله قالت فجعلناه وسادة أو وسادتين 
Artinya: Pernah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari suatu safar dan aku ketika itu menutupi diri dengan kain tipis milikku di atas lubang angin pada tembok lalu di kain tersebut terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat hal itu, beliau merobeknya dan bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang membuat sesuatu yang menandingi ciptaan Allah." 'Aisyah mengatakan, "Akhirnya kami menjadikan kain tersebut menjadi satu atau dua bantal." (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyatakan: Hadits ini menunjukkan atas bolehnya membuat gambar apabila tidak memiliki bayangan dan tidak dimuliakan seperti dipakai buat bantal.

- Hadits lain riwayat Bukhari Nabi bersabda: Malaikat tidak masuk ke rumah yang terdapat gambar kecuali nomor di baju إ(‏ إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه صورة إلا رقما فى ثوب)‏. 

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan: Ibnu Arabi berkata: Membuat gambar apabila memiliki bentuk (jism) maka haram secara ijmak. Apabila berupa nomor ada empat pendapat. Pertama, boleh secara mutlak berdasar dzahirnya hadits. Kedua, dilarang secara mutlak termasuk nomor. Ketiga, apabila gambar itu sempurna bentuknya dan posisi berdiri maka haram, apabila terputus kepalanya atau terpisah bagiannya maka boleh. Menurut Ibnu Arabi, ini pendapat paling sahih. Keempat, apabila gambar itu berada di bawah maka boleh, apabila digantung maka tidak boleh.

- Dalam kitab Al-Hidayah dikatakan: Patung (yang meniru sesuatu) yang tidak bernyawa hukumnya tidak makruh karena ia tidak disembah. Dengan alasan pendapat Ibnu Abbas bahwa ia melarang juru gambar/pemahat dari menggambar/memahat. Pemahat/pelukis itu berkata, bagaimana bisa itu pekerjaanku? Ibnu Abbas berkata: apabila harus, maka anda dapat membuat patung kayu. 

Menurut pendapat kami, boleh membuat gambar yang tidak memiliki bayangan. Begitu juga gambar yang berupa nomor pada baju. Disamakan dengan itu gambar yang dilukis pada tembok atau kertas dengan analogi menggambar atau melukis sesuatu yang tidak mempunyai nyawa seperti tumbuhan, pepohonan, dan pemandangan alam.‏ Berdasarkan hal tersebut, maka melukis dan memfoto manusia, hewan dan bagian-bagiannya apabila untuk tujuan ilmiah yang berfaedah pada masyarakat dan tidak ada unsur mengagungkan dan penyembahan maka hukumnya sama dengan hukum menggambar tumbuhan dan pepohonan dan pemandangan alama dan obyek lain yang tidak memiliki kehidupan - yakni boleh secara syariah.



Untuk lebih lengkap nya, silakan dibuka link berikut ini >>>>>>


Wallahua'lam bishawab

Search

FeedLangganan Artikel Terbaru via Email

» Check your email for confirmation !